Sabtu, 16 Maret 2013

Khiyar (Memilih)


Khiyar
Makalah Ini Kami Buat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“ Hadits Ahkam II “




Dosen Pengampu :
Nihayatur Rohmah, M. S. I.

Disusun Oleh:
Ø Hanafi Hadi Susanto   (210211032)
Ø Sely Ayu Melinawati    (210211038)


JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013





PENDAHULUAN
            Dalam kehidupan kita sehari-hari pasti kita tidak lepas dari adanya transaksi. Salah satunya ialah jual beli, karena jual beli merupakan tempat berkumpulnya antara penjual dan pembeli dalam satu majelis. Dan sebagai sarana tolong menolong antar sesama manusia, dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu seseorang yang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata. Akan tetapi dalam transaksi jual beli itu juga harus sejalan dengan aturan syara’ dan sesuai dengan keinginan dari kedua belah pihak antar penjual dan pembeli. Maka dalam jual beli ada yang namanya khiyar, yaitu (hak memilih).
            Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dibahas sekilas mengenai apa itu khiyar dan apa macam-macam khiyar itu.



PEMBAHASAN
A.     Definisi Khiyar
            Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi.
            Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ.
         Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[1]
            Sedangkan pengertian khiyar menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 20 (8) adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.[2]
B.      Dasar Hukum dan Penjelasannya
            Adapun dasar hukum yang terkait dengan hak khiyar dalam jual beli adalah sebagai berikut:
عَنِ ابنِ عُمَرَ، عَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ اَنَّهُ قَالَ:,, اِذَاتَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُّلُ وَاحِدٍمِنْهُمَابِاْلخِيَا رِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا، وَكَانَاجَمِيْعًا، اَوْيُخَيْرُاَحَدُهُمَااْلآخَرَ. فَاِنْ خَيَّرَاَحَدُهُمَاْالآَخَرَ. فَتَيَايَعَا عَلى ذلِكَ، فَقَدْوَجَبَ اْلبَيْعُ. وَاِنْ تَفَرَّ قَابَعْدَاَنْ تَبَايَعَاوَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌمِنْهُمَااْلبَيْعَ، فَقَدْوَجَبَ اْلبَيْعُ،،.
Artinya: “Apabila ada dua orang mengadakan akad jual beli, maka masing-masing boleh khiyar selagi belum berpisah, sedangkan mereka berkumpul; atau salah seorang dari mereka mempersilahkan yang lain untuk khiyar, kalau salah seorang sudah mempersilahkan yang lain untuk khiyar kemudian mereka mengadakan akad sesuai dengan khiyar tersebut, maka jual beli jadi; dan apabila mereka berpisah sementara tidak ada seorangpun yang meninggalkan jual beli (tetap memilih( dilaksanakan khiyar dalam khiyar. Khiyar, maka harus jadi.”[3]
Kosakata  Hadits:
Al Khiyar:  Adalah meminta yang terbaik dan dua hal, adakalanya melanjutkan akad atau membatalkannya.
Idza Tabayya’a: Dengan arti saling melakukan jual beli.
Ma lam yatafarraqa: Sebagian ahli bahasa membedakan di antara keduanya, yaitu keduanya berpisah dengan pembicaraan dan berpisah secara fisik. Yang dimaksud hadits ini adalah berpisah secara fisik.
Au Yukhaiyyiru Ahaduhum Al Aakhar. An-Nawawi berkata, “Artinya hendaklah seseorang berkata: Pilihlah untuk melanjutkan akad jual beli, apabila ia melakukan khiyar, maka jual beli wajib baginya.”[4]
Hadits tersebut kami lacak melalui Maktabah Syameela dengan menggunakan potongan lafadz بالخيار. Hadits lengkapnya tertuang didalam bab
إذ خير أحدهما ,jus 2, halaman 744.
                        Kandungan hadits diatas merupakan dalil bahwa ajaran islam membolehkan dilakukanya khiyar pada jual beli. Karena terkadang dalam jual beli tiba-tiba terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak terpikirkan pada barang dagangan, sehingga salah satu atau kedua belah pihak menyesal. Maka untuk menghindari hal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk berpikir yang disebut khiyar. Agar kedua belah pihak dalam bertransaksi dapat memilih pilihan yang sesuai antara meneruskan atau membatalkan transaksi.
                        Adapun hadits yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
اَلْبَيَّعَانِ بِا لْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَ قَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Dua pihak yang berjual beli mempunyai hak memilih selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan berterus terang, niscaya jual beli keduanya diberkahi. Dan jika keduanaya menyembunyikan kondisi barang dan berdusta, niscaya terhapus berkah jual belinya”[5]
C.      Macam-macam Khiyar
1.      Khiyar Majlis
      Ialah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.[6]
      Ulama ada yang berbeda pendapat tentang khiyar ini yaitu:
Pertama, Asy-Syafi’i dan Hanabillah berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat atau belum berpisah badan. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. [7]
      Kedua, Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada khiyar majelis dalam jual beli, menurut mereka, akad telah dianggap sempurna dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua belah pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan qabul. [8]Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 29:
تِجَارَةًعَن ترَاضٍ...(29)
“Jual beli atas suka sama suka” (QS. An-Nissa’: 29)[9]
2.      Khiyar Ta’yin
      Khiyar ta’yin ialah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Sebagai contoh adalah dalam pembelian kramik, misalnya ada yang berkualitas super (KW1) dan sedang (KW2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan mana kramik yang berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah adalah boleh. Dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.[10]
3.      Khiyar Syarat
      Yaitu hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggangan waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu."
      Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar syarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Sedangkan khiyar syarat menentukan bahwa baik barang maupun nilai/harga barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu khiyar yang disepakati itu selesai.
      Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menentukan jumlah hari yang dijadikan tenggang waktu dalam khiyar syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Hujail (728-774M), pakar fiqh Hanafi, dan Imam asy-Syafi’i (150-204H/767-820M), tenggang waktunya tidak lebih dari tiga hari. Hal ini sejalan dengan hadits tentang kasus Habban ibn Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual beli, sehingga para konsumen mengadu kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw ketika itu bersabda:
إِذَا بَا يَعْتَ فَقُلْ: لاَ خِلاَ بَة و لِيَ الْخيَا رُثَلَا ثَةَ أَيَّامٍ. (رواه البخا رى ومسلم عن ابن عمر)
“Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada penjual): janganlah ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga hari. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Umar).
      Menurut mereka, ketentuan tenggangan waktu tiga hari ini ditentukan syara’ untuk kemaslahatan pembeli.[11]
4.      Khiyar ‘Aib
      Khiyar ‘Aib (cacat) menurut ulama fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memilih hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemilikannya waktu akad.
      Penyebab khiyar aib adalah adanya cacat pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang yang dalam akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
      Khiyar aib disyaratkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits, salah satunya ialah:
اَلْمُسْلِمُ اَخُواْلمُسْلِمِ لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ اِلَّابَيّنَةٌ لَهُ.
 (رواه بن ماجه عن عقبة بن عار)
Artinya: “seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskanya terlebih dahulu.”[12]
 Hadits tersebut kami lacak melalui Maktabah Syameela dengan menggunakan potongan lafadz بَاعَ مِنْ أَخِيهِ. Hadits lengkapnya tertuang didalam bab
من باع  عيبا  ,jus 7, halaman 99.
5.      Khiyar Ru’yah
      Khiyar ru’yah ialah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasanya.
      Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i khiyar ru’yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah. Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru’yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits:
من اشترى شيئا لم يراه فهو بالخيار اذاراه (رواهالدارقطنى عن أبي هريرة)
“Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya.” (HR ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
        Hadits tersebut kami lacak melalui Maktabah Syameela dengan menggunakan potongan lafadz اذاراه. Hadits lengkapnya tertuang didalam bab
من قا ل يجوزبيع  ,jus 2, halaman 456.
6.      Khiyar Naqd (Pembayaran)
      Khiyar naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad.[13]
D.     Tujuan Khiyar
            Tujuan khiyar ialah agar orang-orang yang melakukan transaksi perdata  tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[14]
E.      Khiyar dan Permasalahannya
1.      Siapa pemilik hak khiyar, penjual atau pembeli saja? Bagaimana hukum kasus tentang “ Barang yang sudah di beli tidak boleh dikembalikan”.
      Pada dasarnya khiyar pada jual beli diperbolehkan. Akan tetapi tergantung ketika akad jual beli berlangsung. Khiyar tidak sah jika salah satu pihak merasa dirugikan atau salah satu darinya ada sebuah kebohongan. Dalam pembahasan diatas sudah sangat jelas mengenai sah dan batalnya khiyar. Sah jika syaratnya terpenuhi, khiyar akan batal jika persyaratan tidak terpenuhi atau salah satu pihak merasa dirugikan. Karena unsur kebohongan, untuk itu apabila kita membeli sesuatu harus teliti, cermat dan hati-hati.
      Pemilik hak khiyar adalah penjual dan pembeli, jadi apabila ada penjual yang sudah menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”. Itu merupakan akad dari penjual maka pembeli sebelum membeli atau mengesahkan jual belinya harus lebih teliti. Tetapi apabila kita merujuk pada hadits:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلمُتَبَا يِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِا لْخِيَارِ عَلَى صَا حِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّ قَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَا رِ.
Artinya: “ Setiap penjual dan pembeli berhak memilih (khiyar) atas yang lainnya selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar.”[15]
boleh dikembalikan akan tetapi ada perjanjian akad dengan penjual meskipun sudah tertera “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan.”


KESIMPULAN
A.      Pengertian Khiyar
      Khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
B.      Macam-macam Khiyar
1.      Khiyar Majlis
2.      Khiyar Ta’yin
3.      Khiyar Syarat
4.      Khiyar ‘Aib
5.      Khiyar Ru’yah
6.      Khiyar Naqd (Pembayaran)
C.      Tujuan Khiyar
     Tujuan khiyar ialah agar orang-orang yang melakukan transaksi perdata  tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya.
D.     Pemilik hak khiyar adalah penjual dan pembeli, jadi apabila ada penjual yang sudah menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”. Itu merupakan akad dari penjual maka pembeli sebelum membeli atau mengesahkan jual belinya harus lebih teliti.


[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 129.
[2] Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) 251.
[3] Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Sahih Muslim, Vol. IV (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993) 20-21.
[4] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, Vol. 4 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) 378.
[5] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008)886.
[6] Haroen, Fiqh, 130.
[7] Rachmat Syafe’i, FIQIH MUAMALAH (Bandung: Pustaka Setia, 2001) 115.
[8] Qomarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011) 42.
[9] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, As-Subulus As-Salam Syarah Bulughul Maram, Vol.2 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007) 389.
[10]Haroen, FIQH, 131-132.
[11] Ibid., 132-133.
[12] Syafe’i, FIQIH, 116.
[13]. Huda, FIQH, 46.
[14] Haroen, Fiqh, 129.
[15] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Shahih Al Bukhari, Vol 12 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) 127.

1 komentar:

  1. assalammualaikum. boleh saya tahu syarat syarat yang membolehkan khiyar naqdi?

    BalasHapus