Khiyar
Makalah Ini Kami
Buat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“ Hadits Ahkam
II “
Dosen Pengampu :
Nihayatur Rohmah,
M. S. I.
Disusun Oleh:
Ø Hanafi Hadi Susanto (210211032)
Ø Sely Ayu Melinawati (210211038)
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita sehari-hari
pasti kita tidak lepas dari adanya transaksi. Salah satunya ialah jual beli,
karena jual beli merupakan tempat berkumpulnya antara penjual dan pembeli dalam
satu majelis. Dan sebagai sarana tolong menolong antar sesama manusia, dalam
kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu seseorang yang melakukan transaksi
jual beli tidak dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata. Akan
tetapi dalam transaksi jual beli itu juga harus sejalan dengan aturan syara’ dan
sesuai dengan keinginan dari kedua belah pihak antar penjual dan pembeli. Maka
dalam jual beli ada yang namanya khiyar, yaitu (hak memilih).
Oleh karena itu di dalam makalah ini
akan dibahas sekilas mengenai apa itu khiyar dan apa macam-macam khiyar itu.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa
arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para ulama fiqh
dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya
transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan
transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi.
Secara terminologis para
ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ
وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ.
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan
transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai
dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.[1]
Sedangkan pengertian khiyar menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 20 (8) adalah hak pilih bagi penjual dan
pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.[2]
B.
Dasar Hukum dan Penjelasannya
Adapun dasar hukum yang terkait
dengan hak khiyar dalam jual beli adalah sebagai berikut:
عَنِ ابنِ
عُمَرَ، عَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ اَنَّهُ قَالَ:,, اِذَاتَبَايَعَ
الرَّجُلاَنِ فَكُّلُ وَاحِدٍمِنْهُمَابِاْلخِيَا رِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا، وَكَانَاجَمِيْعًا،
اَوْيُخَيْرُاَحَدُهُمَااْلآخَرَ. فَاِنْ خَيَّرَاَحَدُهُمَاْالآَخَرَ. فَتَيَايَعَا
عَلى ذلِكَ، فَقَدْوَجَبَ اْلبَيْعُ. وَاِنْ تَفَرَّ قَابَعْدَاَنْ تَبَايَعَاوَلَمْ
يَتْرُكْ وَاحِدٌمِنْهُمَااْلبَيْعَ، فَقَدْوَجَبَ اْلبَيْعُ،،.
Artinya: “Apabila ada dua orang mengadakan akad jual beli, maka
masing-masing boleh khiyar selagi belum berpisah, sedangkan mereka berkumpul;
atau salah seorang dari mereka mempersilahkan yang lain untuk khiyar, kalau
salah seorang sudah mempersilahkan yang lain untuk khiyar kemudian mereka
mengadakan akad sesuai dengan khiyar tersebut, maka jual beli jadi; dan apabila
mereka berpisah sementara tidak ada seorangpun yang meninggalkan jual beli
(tetap memilih( dilaksanakan khiyar
dalam khiyar. Khiyar, maka harus jadi.”[3]
Kosakata Hadits:
Al Khiyar: Adalah meminta yang
terbaik dan dua hal, adakalanya melanjutkan akad atau membatalkannya.
Idza Tabayya’a: Dengan arti saling melakukan jual
beli.
Ma lam yatafarraqa: Sebagian ahli bahasa membedakan di
antara keduanya, yaitu keduanya berpisah dengan pembicaraan dan berpisah secara
fisik. Yang dimaksud hadits ini adalah berpisah secara fisik.
Au Yukhaiyyiru Ahaduhum Al Aakhar. An-Nawawi berkata, “Artinya
hendaklah seseorang berkata: Pilihlah untuk melanjutkan akad jual beli, apabila
ia melakukan khiyar, maka jual beli wajib baginya.”[4]
Hadits tersebut kami lacak melalui Maktabah
Syameela dengan menggunakan potongan lafadz بالخيار. Hadits lengkapnya tertuang didalam bab
إذ خير أحدهما ,jus 2, halaman 744.
Kandungan hadits diatas merupakan dalil bahwa ajaran islam
membolehkan dilakukanya khiyar pada jual beli. Karena terkadang dalam jual beli
tiba-tiba terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak terpikirkan pada
barang dagangan, sehingga salah satu atau kedua belah pihak menyesal. Maka
untuk menghindari hal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk berpikir yang
disebut khiyar. Agar kedua belah pihak dalam bertransaksi dapat memilih pilihan
yang sesuai antara meneruskan atau membatalkan transaksi.
Adapun
hadits yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
اَلْبَيَّعَانِ بِا لْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَ قَا
وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ
بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Dua pihak yang
berjual beli mempunyai hak memilih selama keduanya belum berpisah. Bila
keduanya jujur dan berterus terang, niscaya jual beli keduanya diberkahi. Dan
jika keduanaya menyembunyikan kondisi barang dan berdusta, niscaya terhapus
berkah jual belinya”[5]
C.
Macam-macam Khiyar
1.
Khiyar Majlis
Ialah
hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama
keduanya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. Artinya,
suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan
akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan
pilihan untuk menjual dan atau membeli.[6]
Ulama
ada yang berbeda pendapat tentang khiyar ini yaitu:
Pertama, Asy-Syafi’i dan Hanabillah
berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan qabul, akad tersebut
masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di
tempat atau belum berpisah badan. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk
membatalkan, menjadikan, atau saling berpikir. [7]
Kedua,
Hanafiyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada khiyar majelis dalam jual beli, menurut
mereka, akad telah dianggap sempurna dan bersifat lazim (pasti) semata
berdasarkan kerelaan kedua belah pihak yang dinyatakan secara formal melalui
ijab dan qabul. [8]Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 29:
تِجَارَةًعَن ترَاضٍ...(29)
“Jual beli atas suka sama suka” (QS. An-Nissa’: 29)[9]
2.
Khiyar Ta’yin
Khiyar
ta’yin ialah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Sebagai contoh adalah dalam pembelian kramik,
misalnya ada yang berkualitas super (KW1) dan sedang (KW2). Akan tetapi,
pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan mana kramik
yang berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan
pakar keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut ulama Hanafiyah adalah
boleh. Dengan alasan bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat banyak,
yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan pakar. Agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang ia
cari sesuai dengan keperluannya, maka khiyar ta’yin dibolehkan.[10]
3.
Khiyar Syarat
Yaitu
hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau
bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli, selama masih dalam
tenggangan waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli
barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara meneruskan atau
membatalkan akad selama satu minggu."
Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar syarat ini dibolehkan dengan tujuan
untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari
pihak penjual. Sedangkan khiyar syarat menentukan bahwa baik barang maupun
nilai/harga barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu
khiyar yang disepakati itu selesai.
Para
ulama fiqh berbeda pendapat dalam menentukan jumlah hari yang dijadikan
tenggang waktu dalam khiyar syarat. Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Hujail
(728-774M), pakar fiqh Hanafi, dan Imam asy-Syafi’i (150-204H/767-820M),
tenggang waktunya tidak lebih dari tiga hari. Hal ini sejalan dengan hadits
tentang kasus Habban ibn Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual beli,
sehingga para konsumen mengadu kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw ketika
itu bersabda:
إِذَا بَا يَعْتَ فَقُلْ: لاَ خِلاَ بَة و لِيَ الْخيَا رُثَلَا ثَةَ
أَيَّامٍ. (رواه البخا رى ومسلم عن ابن عمر)
“Apabila seseorang membeli suatu barang,
maka katakanlah (pada penjual): janganlah ada tipuan! Dan saya berhak memilih
dalam tiga hari. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Umar).
Menurut mereka, ketentuan tenggangan waktu
tiga hari ini ditentukan syara’ untuk kemaslahatan pembeli.[11]
4.
Khiyar ‘Aib
Khiyar
‘Aib (cacat) menurut ulama fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang
yang akad memilih hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika
ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar
yang tidak diketahui pemilikannya waktu akad.
Penyebab khiyar aib adalah adanya cacat
pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau harga (tsaman),
karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang yang dalam
akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.
Khiyar
aib disyaratkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits, salah satunya ialah:
اَلْمُسْلِمُ اَخُواْلمُسْلِمِ لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ
بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ اِلَّابَيّنَةٌ لَهُ.
(رواه بن ماجه عن عقبة بن
عار)
Artinya: “seorang muslim adalah
saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual
barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskanya
terlebih dahulu.”[12]
Hadits tersebut kami lacak melalui Maktabah
Syameela dengan menggunakan potongan lafadz بَاعَ مِنْ أَخِيهِ. Hadits lengkapnya tertuang didalam bab
من باع عيبا ,jus 7, halaman 99.
5.
Khiyar Ru’yah
Khiyar
ru’yah ialah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika
dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung
akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan
telah terjadi perubahan atasanya.
Konsep
khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan
Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i khiyar ru’yah
ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap
barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah. Adapun
landasan hukum mengenai khiyar ru’yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah
hadits:
من اشترى شيئا لم يراه فهو بالخيار اذاراه (رواهالدارقطنى عن أبي
هريرة)
“Barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya,
maka baginya hak khiyar ketika melihatnya.” (HR ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
Hadits
tersebut kami lacak melalui Maktabah Syameela dengan menggunakan
potongan lafadz اذاراه. Hadits lengkapnya tertuang didalam
bab
من قا ل
يجوزبيع ,jus
2, halaman 456.
6.
Khiyar Naqd (Pembayaran)
Khiyar
naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan
jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak
menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad.[13]
D.
Tujuan Khiyar
Tujuan khiyar ialah agar orang-orang
yang melakukan transaksi perdata tidak
dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang
dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar,
menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan
yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang
melakukan transaksi.[14]
E.
Khiyar dan Permasalahannya
1. Siapa pemilik
hak khiyar, penjual atau pembeli saja? Bagaimana hukum kasus tentang “ Barang yang sudah di beli
tidak boleh dikembalikan”.
Pada
dasarnya khiyar pada jual beli diperbolehkan. Akan tetapi tergantung ketika
akad jual beli berlangsung. Khiyar tidak sah jika salah satu pihak merasa
dirugikan atau salah satu darinya ada sebuah kebohongan. Dalam pembahasan
diatas sudah sangat jelas mengenai sah dan batalnya khiyar. Sah jika syaratnya
terpenuhi, khiyar akan batal jika persyaratan tidak terpenuhi atau salah satu
pihak merasa dirugikan. Karena unsur kebohongan, untuk itu apabila kita membeli
sesuatu harus teliti, cermat dan hati-hati.
Pemilik
hak khiyar adalah penjual dan pembeli, jadi apabila ada penjual yang sudah
menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”. Itu merupakan
akad dari penjual maka pembeli sebelum membeli atau mengesahkan jual belinya
harus lebih teliti. Tetapi apabila kita merujuk pada hadits:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اْلمُتَبَا يِعَانِ
كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِا لْخِيَارِ عَلَى صَا حِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّ قَا
إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَا رِ.
Artinya: “ Setiap penjual dan
pembeli berhak memilih (khiyar) atas yang lainnya selama belum berpisah,
kecuali jual beli khiyar.”[15]
boleh dikembalikan akan tetapi ada
perjanjian akad dengan penjual meskipun sudah tertera “Barang yang sudah dibeli
tidak boleh dikembalikan.”
KESIMPULAN
A. Pengertian
Khiyar
Khiyar adalah hak pilih bagi salah
satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan
atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing
pihak yang melakukan transaksi.
B. Macam-macam
Khiyar
1.
Khiyar Majlis
2.
Khiyar Ta’yin
3.
Khiyar Syarat
4.
Khiyar ‘Aib
5.
Khiyar Ru’yah
6.
Khiyar Naqd (Pembayaran)
C.
Tujuan Khiyar
Tujuan khiyar ialah agar orang-orang
yang melakukan transaksi perdata tidak
dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang
dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya.
D.
Pemilik hak khiyar adalah penjual dan pembeli, jadi
apabila ada penjual yang sudah menuliskan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh
dikembalikan”. Itu merupakan akad dari penjual maka pembeli sebelum membeli
atau mengesahkan jual belinya harus lebih teliti.
[1]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 129.
[2]
Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) 251.
[3]
Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Sahih Muslim,
Vol. IV (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993) 20-21.
[4]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, Vol. 4
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) 378.
[5]
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2008)886.
[6]
Haroen, Fiqh, 130.
[7]
Rachmat Syafe’i, FIQIH MUAMALAH (Bandung: Pustaka Setia, 2001) 115.
[8]
Qomarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011) 42.
[9]
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, As-Subulus As-Salam Syarah
Bulughul Maram, Vol.2 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007) 389.
[10]Haroen,
FIQH, 131-132.
[11]
Ibid., 132-133.
[12]
Syafe’i, FIQIH, 116.
[13].
Huda, FIQH, 46.
[14]
Haroen, Fiqh, 129.
[15]
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Shahih Al Bukhari, Vol 12
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) 127.
assalammualaikum. boleh saya tahu syarat syarat yang membolehkan khiyar naqdi?
BalasHapus