Pemikiran Abu
Ubaid
Makalah Ini Kami
Buat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“ Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Islam “
Dosen Pengampu :
Ely Masykuroh,
SE, MSI.
Disusun Oleh:
Ø Sely Ayu Melinawati (210211038)
Ø Ria Kusuma Wati (210211041)
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI
MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2013
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim
bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada
tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya
keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang
memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana
untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu
yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at,
tafsir, hadis, dan fiqih.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr
ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid,
mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah
itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun
219 H, setelah berhaji, ia menetap di Mekkah sampai wafatnya 224 H.[1]
Selama menjabat qadi di Tarsus, ia
sering menangani berbagai kasus pertahanan dan perpajakan serta
menyelesaikannya dengan baik. Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr
dalam kitab al-Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid
dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza’i, serta ulama-ulama Suriah
lainnya semasa ia menjadi qadi di Tarsus.
Berbeda
halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan
sistem pemerintahan serta
penanggulangannya. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih
tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu
pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya.
Pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan
dominasi intlektualitas islam yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic
dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik yang
bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid
berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad
ketiga Hijriah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalitas sistem
perekonomian berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis melalui reformasi dasar-dasar
kebijakan keuangan dan intitusinya. [2]
B.
Kitab Al-Amwal
Beliau menulis buku yang berjudul
Al-Amwal yang membahas tentang keuangan publik/kebijakan fiskal secara
komperhensip.[3] Di
dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan
dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan sebagai sumber
penerima negara yang lain. Selain berisi tentang sejarah otentik tentang
kehidupan perekonomian negara Islam pada masa Rasulullah Saw.[4]
Tiga bagian pertama dari kitab
Al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Dalam hal ini,
walaupun menurut Abu Ubaid juga mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah,
kharaj dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shadaqah.
Sebaliknya, ghanimah (harta rampasan perang) dan fidyah (tebusan untuk
tawaran perang), yang tidak termasuk dalam definisi tersebut, dibahas bersama
dengan fai.
Pada bagian keempat, sesuai dengan
perluasan wilayah Islam di masa klasik, kitab al-Amwal berisi pembahasan
mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang.
Setelah bagian kelima membahas tentang distribusi pendapatan fai’, bagian
keenam kitab tersebut membahas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima.
Dua bagian terakhir ini, masing-masing didedikasikan untuk membahas khums dan
shadaqah.
Dari penelaahan singkat tersebut,
tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada
masalah keuangannya pada keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas
materi yang ada di dalamnya membahas permasalahan administrasi pemerintahan
secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan
dan hukum pertanahan serta hukum administrasi dan hukum internasional.
Disamping seorang ahl al-hadis,
Abu Ubaid juga merupakan seorang ahl al-ra’y. Dalam setiap isu, Abu
Ubaid selalu mengacu pada hadis-hadis serta interpretasi dan pendapat para
ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadapnya dengan melakukan
evaluasi terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Sebagaimana ulama lainnya,
al-Qur’an dan hadis merupakan referensi utama Abu ubaid dalam menarik
kesimpulan hukum suatu peristiwa.[5]
Setelah Al-Qur’an dan Hadis, sumber
hukum berikutnya yang digunakan oleh Abu Ubaid adalah Ijma (kesepakatan umat).
Dari skala prioritas yang digunakannya dalam mengambil sebuah kesimpulan hukum,
terlihat bahwa Abu Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi. Ia hanya
menggunakan analoginya dalam rangka mengambil sebuah kesimpulan hukum jika
hukum tersebut tidak secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.[6]
C.
Pemikiran Ekonomi Abu ubaid
1.
Filosofi
Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal
dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan
sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan
membawa kesejahtraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid
memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan
negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia
akan berpihak kepada kepentingan publik.
Abu Ubaid menyatakan
bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para
penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan
jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga
menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain,
perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas
tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah, ia
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk
non-Muslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity
to pay dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya.
Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim
melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid menekankan
kepada petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushur, atau zakat untuk
tidak menyiksa masyarakat, dan di lain sisi masyarakat agar memenuhi kewajiban
finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme,
penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).
2.
Dikotomi
Badui-Urban
Pembahasan mengenai
dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai.
Abu ubaid menegaskan bahwa, kaum badui bertentangan dengan kaum urban
(perkotaan). Demikianlah adalah apa–apa yang dilakukan oleh kaum urban:
a.
Ikut terhadap
keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
b.
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil
melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
c.
Menggalakkan
pendidikan dan pengajaran melalui proses belajar-mengajar al-Qur’an dan sunnah
serta penyebaran keunggulannya.
d.
Memberikan kontribusi
terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
e.
memberikan contoh
universalisme Islam dengan shalat berjamaah
Singkatnya , di samping keadilan, Abu
Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan,
pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut di atas hanya
diberikan oleh Allah Swt. Kepada kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak
memberikan kontribusi sebesar yang telah dilakukan kaum urban, tidak bisa
memperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum urban.[7]
3.
Kepemilikan dalam
Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu
ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. dalam hal ini
kepemilikan menurut pemikiran abu Ubaid adalah mengenai hubungan anatara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid
mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment)
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah
tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.
Maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun
berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh
penguasa. Bahkan tanah gurun yang termasuk hima pribadi dengan maksud
untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati
oleh orang lain melalui proses yang sama.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya
publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima
(taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam
kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat[8]
4.
Reformasi distribusi
zakat
Abu ubaid sngat menentang pendapat yang
menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara
delapan kelompok penerima zakat dan cendrung menentukan suatu batas tertinggi
terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan
orang-orang dari bahaya kelaparan.
Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga
kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan setatus zakat, yaitu:
a.
Kalangan kaya yang
terkena wajib zakat
b.
Kalangan menengah
yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.
Kalangan menerima
zakat
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui
zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip ”bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”.
Lebih
jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak)
yang diberikan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, dia lebih
cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.[9]
5.
Fungsi
Uang
Pada prinsipnya, Abu
Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagi standar nilai pertukaran (standard
of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam
hal ini, ia menyatakan:
“Adalah hal yang tidak
diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya
menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat
diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq).”
Pernyataan Abu Ubaid
tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam,
walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk
apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk
pada kegunaan umum relatif konstanya nilai dari kedua benda tersebut
dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut jika
digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula,
karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni
barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang
lainnya. Abu Ubaid secara implisit
mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value)
ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.[10]
KESIMPULAN
Pandangan-pandangan Abu Ubaid
mengedepankan dominasi intlektualitas islam yang berakar dari pendekatannya
yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia
dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Beliau menulis buku yang berjudul
Al-Amwal yang membahas tentang keuangan publik/kebijakan fiskal secara
komperhensip. Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban
negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan sebagai sumber
penerima negara yang lain. Selain berisi tentang sejarah otentik tentang
kehidupan perekonomian negara Islam pada masa Rasulullah Saw.
Pemikiran Ekonomi Abu ubaid
meliputi:
a.
Filosofi
Hukum dari Sisi Ekonomi
b.
Dikotomi
Badui-Urban
c.
Kepemilikan dalam
Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
d.
Reformasi distribusi
zakat
e.
Fungsi
Uang
[1]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004)242.
[2]
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2011) 174.
[3]
Ely Masykuroh, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Pada Teori Ekonomi Mikro
Islam (Ponorogo: STAIN Press, 2008) 42.
[4]
Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam (Yogyakarta: Ekonisia,
2003).
[5]
Abdullah, Peradaban, 176-177.
[6]
Karim, Sejarah, 250.
[7]
Ibid., 251-254.
[8]
Ibid., 255-256
[9]
Abdullah, Peradaban, 180.
[10]
Ibid., 181-182.